Syahril Abd Radjak Dinilai Layak Jadi Wali Kota, Akademisi: Tauhid Pemimpin Gagal

TERNATE – Akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate Muammil Sunan menilai Syahril Abdurradjak lebih pas menjabat sebagai Wali Kota Ternate periode 2024-2029.
Menurut Muammil, pengalaman Syahril di dunia birokrasi diyakini sebagai cukup alasan memimpin Kota Ternate lima tahun ke depan.
Pemahaman Syahril, khususnya kerja-kerja pemerintahan dan kapabilitas yang dimilikinya mampu menjadikannya pemimpin transformatif. Termasuk mengedepankan kepentingan publik dan memanfaatkan sumber daya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kota demi terwujudnya pembangunan yang semakin maju serta berkelanjutan.
Demikian pula dengan Ishak Naser. Muammil mengatakan, track recod dan pergalaman Ishak di Maluku Utara sangat memahami kondisi faktual proses pembangunan daerah, khususnya Kota Ternate. Pengalaman politik dan wawasan keilmuannya bukan barang baru bagi masyarakat.
“Sudah diketahui masyarakat dan etikabilitasnya teruji. Pastinya bisa menjadi sosok pemimpin ideal dan visioner,” ujar Muamil.
Baik Ishak Naser maupun Syahril Abdurradjak, sambung Muammil, memiliki komitmen kuat terhadap pembangunan kota, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kualitas kesehatan, pendidikan, serta sumber daya manusia (SDM).
“Keduanya juga dapat merawat keberagaman yang ada di tengah kehidupan masyarakat Kota Ternate,” ujarnya.
Namun ketika ditanyai mengenai rekam pencapaian pemerintahan di bawah komando M. Tauhid Soleman sebagai Wali Kota Ternate, Muammil menyatakan kepemimpinan di era Tauhid merupakan pemerintahan gagal dalam mewujudkan visi misi.
Visi-misi Ternate Mandiri dan Berkeadilan yang di dalamnya memuat berbagai program, kebijakan dan pembangunan daerah tidak sejalan dengan apa yang sudah dirancang.
Muammil mencontohkan salah satunya penerapan sistem merit. Sistem merit bertujuan untuk memastikan jabatan di birokrasi pemerintah diisi oleh orang yang profesional, kompeten, dan menjalankan tugas berdasarkan nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN.
Ditambah lagi kesenjangan pembangunan di Moti, Hiri Batang Dua yang tidak mampu diselesaikan hingga memasuki penghujung menjabat.
Belum lagi permasalahan air bersih, pengelolaan sampah dan pelayanan dasar lainnya, termasuk Pelabuhan Hiri dan dan 16 program prioritas RPJMD yang sampai sekarang tidak diprioritaskan.
“Wali kota sebagai pemimpin daerah harusnya lebih kedepankan kepentingan publik. Kebijakan yang dijalankan harus benar-benar berdampak luas bagi masyarakat. Wali kota bukan hanya sekadar jabatan prestise, tetapi memiliki tanggung jawab besar untuk menjalankan kebijakan dan merealisasikan berbagai program pembangunan sesuai harapan rakyat,” tambahya.
Bagi Muammil, seorang wali kota harus memiliki tiga keriteria sebagai modal. Yaitu modal sosial, budaya, dan ekonomi.
Menurutnya, odal budaya atau kultural bisa memengaruhi setiap pengambilan kebijakan dengan memahami nilai-nilai lokal dan kondisi yang sedang dialami masyarakat.
“Modal sosial petahana sudah runtuh dalam birokrasi yang terbukti dengan tidak diterapkannya merit sistem. Sebagai putra daerah, pemimpin seharusnya memahami kultur, sistem sosial ekonomi, serta unsur kebudayaan yang ada di masyarakat sebagai pedoman dalam menjalankan roda pemerintahan,” tuturnya. **