voicemu.com
Beranda Opini Dr. Hasrul Buamona: Pencetus Peradilan Profesi Medis di Bawah MA

Dr. Hasrul Buamona: Pencetus Peradilan Profesi Medis di Bawah MA

Oleh: Dr. Hasrul Buamona, S.H,. M.H. Penulis merupakan Advokat dan Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Penting diketahui oleh publik bahwa pelayanan kesehatan dalam bingkai hukum kesehatan sampai pada telah disahkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehtan.

Hukum kesehatan belum terlalu menjadi suatu kajian ilmiah hukum yang serius yang mana terkoneksi dengan bidang-bidang ilmu kesehatan itu sendiri, secara khusus dalam kebijakan pelayanan kesehatan, hukum pembuktian dan sistem peradilan.

Secara norma pembentukan MKDKI disebut dalam UU 29 Tahun 2004, namun kedudukan MKDKI sangat rancu bahkan tidak layak secara hukum untuk mengadili pelanggaran disiplin keilmuan dokter. Dikarenakan MKDKI hanya merupakan panjang tangan KKI, sedangkan pada sisi lain MKDKI sebagaimana dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006, MKDKI telah melakukan kegiatan peradilan yang memiliki dampak secara disiplin sekaligus dampak hukum (quasi-judicial institusion).

Maka sampai hari ini,  memunculkan pertanyaan yang dilakukan MKDKI tersebut, apakah kegiatan yudisial atau bukan ?. Apabila kegiatan MKDKI tersebut adalah kegitan yudisial, mengapa MKDKI berada di bawah KKI yang bertanggung jawab kepada presiden yang adalah rumpun eksekutif bukan yudikatif.

Faktanya bahwa MKDKI hanyalah sebagai panjang tangan menjalankan sebagian kewenangan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam penegakan disipilin. Sehingga tidak sesuai dengan prinsip kemandirian institusi peradilan, sedangkan secara normatif, MKDKI telah melakukan fungsi peradilan dikarenakan telah memeriksa, menilai alat bukti dan memutuskan suatu kesalahan profesionalitas keilmuan dokter.

Bahkan putusan MKDKI bisa menjadi direct evidence dalam pembuktian baik dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Persoalan serius adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Republik Indonesia (MKDKI) dalam putusannya tidak mengenal banding atau evaluasi, hal ini yang membuat kalangan dokter dirugikan secara konstitusional.

Pelayanan kesehatan oleh Pemerintah meliputi hal -hal yang luas, diantaranya mengatur (regelendaad), mengurus (bestuurdaad), mengeluarkan kebijakan (beleid), mengelola (beheersdaad), dan mengawas (toezichtoundensdaad).

Menurut penulis, upaya yang dapat dilakukan untuk membangun peradilan profesi medis dibawah Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah Presiden dan DPR RI harus membuat undang-undang baru terkait kekuasaan kehakiman yang mana memasukan peradilan profesi medis bagian dari peradilan umum seperti halnya peradilan niaga hari ini.

Hal ini bertujuan apabila terdapat suatu kasus medis memudahkan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, dikarenakan terjadi sinergitas baik dalam perumusan hukum materil sampai pada pembuktian dalam hukum acara formil, baik hukum acara pidana dan hukum acara perdata.

Dimana dalam peradilan profesi medis di bawah kekuasaan kehakiman oleh Mahkmah Agung, menempatkan hakim ad hoc dari profesi medis dan tenaga kesehatan sesuai kebutuhan suatu kasus demi menemukan kebenaran materiil.

Apabila peradilan profesi medis di bawah Mahkamah Agung, maka mutatis-mutandis peradilan profesi medis terdapat di seluruh Indonesia serta memiliki upaya hukum baik itu banding, kasasi sampai peninjauan kembali.

Selain di atas, secara ius constituendum ada dua pola membangun peradilan profesi medis di bawah kekuasaan kehakiman yang dapat dipilih oleh pembentuk undang-undang.

Pertama, peradilan profesi medis berdiri secara tetap dalam peradilan umum, dalam hal ini pengadilan negeri diseluruh Indonesia. Kedua, peradilan profesi medis berdiri di seluruh Indonesia, akan tetapi sifatnya ad hoc yang mana komposisi majelis hakim diantaranya satu orang hakim karir yang berasal dari Mahkamah Agung yang kedudukannya sebagai ketua, dan dua orang hakim berasal dari profesi medis itu sendiri yang keahlinnya disesuaikan dengan perkara yang akan diadili, yang kedudukannya masing-masing sebagai hakim anggota.

Membangun peradilan profesi medis merupakan keniscayaan, dikarenakan pelayanan kesehatan di Indonesia hari ini, telah diatur dalam pengaturan politik kesehatan yang global (one health), sehingga membawa pelayanan kesehatan pada wilayah industri pelayanan kesehatan.

Penulis melihat ini berpotensi memunculkan sengketa medis baik itu pidana atau perdata secara massif diseluruh Indonesia, sehingga membangun peradilan profesi medis merupakan kebutuhan mendasar dalam sistem peradilan Indonesia kedepan dan pelayanan kesehatan.
Setelah ditelaah lebih dalam secara ius constituendum, maka penulis berpendapat bahwa MKDKI harus dihapuskan, karena pengaturan terkait disiplin disisi lain, sebenarnya telah masuk dalam dimensi pebuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijk) dan perbuatan melawan hukum perdata (onrechtmatige daad).

Terakhir, pandangan penulis senada dengan John Rawls yang mengatakan bahwa betapapun elegan hukum, harus “direformasikan” atau “dihapus” jika tidak adil. Lex esse von vedatur, quae justa non feurit artinya apabila tidak ada keadilan, maka tidak layak disebut hukum.

Upaya reformasi di masa depan, harus terus membangun sistem peradilan profesi medis di bawah Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia yang efisien, berdasarkan pada kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum kepada dokter, perawat, apoteker, bidan dan pasien serta pelayanan kesehatan secara luas di Indonesia. **

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan