Fraksi Hanura Tolak Ranperda PPM Pertambangan: Sejumlah Anggota Deprov Negosiasi

Daftar isi:
Fraksi Hanura DPRD Provinsi Maluku Utara bersikeras menolak pengesahan rencana peraturan daerah (Ranperda) pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat (PPM) di sekitar wilayah pertambangan.
Menurut Hanura, penolakan didasari sejumlah alasan penting. Pertama, Ranperda PPM tidak sepenuhnya mengamodir kepentingan masyarakat penghasil tambang; kedua, tidak mengatur zonasi wilayah terdampak dalam bentuk Ring 1, 2, dan 3 sebagaimana diatur dalam Pedoman Pelaksanaan atau Juklak PPM.
“Penetapan ring harus mengatur zonasi wilayah terdampak, misalnya Ring 1 dapat apa, Ring 2 juga begitu, termasuk Ring 3. Pemetaan ini sepatutnya menjamin masyarakat yang tinggal di sekitar tambang memperoleh program PPM secara proporsional dan berkeadilan,” ujar Ketua Fraksi Hanura Yusran Pauwah saat menyampaikan pandangan fraksi dalam Rapat Paripurna Deprov, Jumat, 12 September 2025.
Kemudian yang ketiga, sambung Yusran, Ranperda PPM sepenuhnya dikelola oleh perusahaan tambang tanpa mekanisme integrasi dengan program pemerintah daerah. Artinya, tidak ada penetapan besaran persentase minimal 2-4 persen dari laba bersih hasil produksi untuk pembiayaan program PPM, padahal ketentuan ini sejalan dengan praktik CSR dan PPM yang diatur Kementerian ESDM.
Menurut Yusran, tidak adanya keterlibatan kontrol pengawasan pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan berpotensi mengurangi peran pemerintah dalam mengarahkan pembangunan yang berkeadilan dan sesuai kebutuhan daerah kepulauan.
“Mekanisme pengawasan hanya dilakukan gubernur dan pejabat yang ditunjuk, tanpa melibatkan DPRD maupun masyarakat sipil, ini tentu melemahkan fungsi check and balance dalam tata kelola pemerintahan daerah. Itupun pemerintah daerah hanya menerima laporan produsi tahunan, tanpa dibolehkan melakukan investigasi bilamana ada masalah pertambangan muncul di kemudian hari. Ini yang menurut kami Fraksi Hanura tetap menolak”.
“Kalau dilihat ranperdanya sangat bangus, tapi asas manfaat bagi daerah daerah tidak ada buat kita ikut mengesahkan. Sebagian besar teman-teman di DPR beralasan ini produk periode sebelumnya jadi tinggal disahkan. Tidak boleh begitu, harus jelas dulu baru Hanura sepakati disahkan menjadi perda,” sambungnya.
Sedangkan yang keempat yaitu blue print. Yusran menilai, pemerintah daerah wajib menyusun dokumen cetak biru atau blue print PPM ebagai dasar penyusunan rencana induk oleh perusahaan. Ketentuan ini diataur dalam pedoman Permen ESDM dan Keputusan Menteri ESDM 1824 K/30/MEM/2018.
“Ketiadaan cetak biru sejak 2009 telah menimbulkan kebocoran anggaran PPM. Karena itu, Franksi Hanura menilai penting ada kewajiban ini ke daerah. Kalau tidak ada ketetapan ihwal ini, program PPM terkesan bukan kewajiban perusahaan, tetapi hanya “sumbangan” sosial yang jauh dari amanat Permen ESDM dan Keputusan Menteri ESDM dimaksud,” terangnya.
Negosiasi Sejumlah Anggota Deprov
Yusran menyebut fraksinya tetap mempertahankan komitmen menolak Ranperda PPM. Ia mengaku ada sejumlah anggota Deprov mencoba merayunya agar ikut mengesahkan ranperda dimaksud.
“Ada beberapa yang marah, ada juga yang bilang beta seng usah bakaras. Untuk apa kita setuju kalau itu menguntungkan daerah,” ujarnya.
Ditanya siapa saja anggota deprov yang membujuknya, Yusran tidak merinci nama dan fraksi mana. “Yang pasti ada. Tadi selesai paripurnasaja ada yang bisik-bisik bilang tidak usah,” katanya. **